Take over kredit,
istilah populer bagi pengajuan pemutusan kredit dari nasabah, untuk berikutnya
dilakukan pemindah lanjutan kredit ke bank lain, dalam akad Kredit Pemilikan
Rumah (KPR), umumnya dilakukan karena dua alasan.
Langkah- Pertama
nasabah ingin
memindahkan dari bank yang telah memberi KPR ke bank lain karena pertimbangan
selisih bunga lebih rendah. Pertimbangan sejenis bisa juga dilakukan karena adanya
insentif berupa reward dari bank lain yang lebih menarik dan menguntungkan. Penambahan
jangka waktu kredit, pemberian fasilatas tambahan berupa kartu kredit, paket
pemberian asuransi tambahan, atau jenis-jenis hadiah lainnya.
Langkah- Kedua
nasabah melakukan take over kredit KPR ke bank lain demi memperoleh tambahan
jumlah plafon dari kredit semula. Jika nasabah memilki catatan mengangsur
cicilan tepat waktu, tidak pernah menunggak dalam rentang waktu di atas 2 tahun
masa kredit, terbuka peluang untuk melakukan take over KPR. Kredibilitas tertib angsuran seorang
nasabah, bagi bank lain dapat menjadi faktor penggoda untuk menawarkan
pemberian tambahan plafon kredit.
Jika take over KPR dilakukan atas pertimbangan selisih bunga
prosesnya akan jauh lebih mudah bagi nasabah. Tinggal menyerahkan data record pembayaran cicilan dari bank terdahulu kepada
bank baru yang akan memberikan pinjam KPR an kredit. Lalu ditambahkan data
prinsip pribadi tentang identitas dan objek agunannya tanpa perlu diverifikasi
ulang. Rekam jejak pembayaran angsuran terdahulu menjadi bukti meyakinkan bagi
bank baru pemberi kredit jika memang angsuran nasabah berjalan lancar tanpa
terjadi tunggakan maupun kemacetan.
Sedangkan untuk
menaikkan plafon pinjaman, dalam proses take over KPR, nasabah perlu
menambahkan data-data pendukung terbaru, yang mengindikasikan kemampuan
membayar angsurannya telah semakin meningkat sesuai besaran plafon yang
dikehendaki. Data slip gaji terbaru, data laporan keuangan, data penghasilan
tambahan dan data-data lainnya perlu dilampirkan.
ada
pula take
over KPR dengan pengajuan
nama baru orang lain atas objek yang sama, yang telah diberikan kredit dari
bank, dalam rangka menyelamatkan aset dari sita jaminan karena cicilannya
hampir masuk golongan macet. Meskipun sebenarnya praktek semacam ini tidak
sepenuhnya tepat disebut take over KPR, karena telah terjadi pergantian dan peralihan nama dengan
mekanisme Akta Jual Beli yang diajukan KPR-nya ke bank baru.
Sebelum macet sama
sekali cicilannya secara beruntun hingga mengakibatkan eksekusi sita jaminan,
nasabah penunggak berinisiatif melakukan take over. Dengan jalan menjual ataupun mengajukan nama
baru yang masih terhitung kolega terpercaya untuk mengajukan kredit baru. Baik
diajukan di bank yang sama maupun di bank yang berbeda. Kenyataannya, kredit
macet memang acapkali terjadi oleh pelbagai sebab. Take over model ini lumrah dilakukan sebagai “langkah
kuda” bagi nasabah yang ketepatan kreditnya “batuk-batuk” (tidak lancar
cicilannya) demi menghindari kerugian lebih besar berupa penyitaan aset jaminan
tanpa memperoleh pengembalian surplus nilai aset jaminan berbanding jumlah
pinjaman.
Sudah menjadi ketetapan
jika perbankan hanya membiayai KPR maksimal 90% untuk aset properti baru dan
kisaran 70% untuk aset property bekas, dari total nilai wajarnya. Itu artinya,
nilai aset properti lebih besar dibanding nilai hutang kredit.
jika saat terjadi
kemacetan angsuran kreditnya sudah berjalan di atas 3 tahun, umpamanya, maka
sah dan wajar saja nasabah melakukan “langkah kuda” seolah take over untuk menyelamatkan nilai surplus asetnya dengan
mengajukan kredit dengan nama baru orang lain. Mengingat pula sisa pokok
hutangnya ke bank yang telah banyak berkurang, sehingga sayang jika dieksekusi
sita jaminan.
Semoga Bermanfaat.....
No comments:
Post a Comment